Mengenal lebih dekat kampung dengan adat memingit anak dara, Kampung Ulu

Peta Muntok (Carel Van der Wijck,1820).

Mentok, atau yang dikenal sebagai Muntok, dahulunya disebut dengan Negeri Mentuk. Negeri Mentuk didirikan oleh Encek Wan Akub dari Negeri Siantan. Pendirian Negeri Mentuk diperuntukkan kepada kaum keluarga mertua Sultan Palembang, Mahmud Badaruddin I, dan orang-orang Melayu dari Siantan pada Tahun 1734.  Kampung Pemuhun (yang kemudian disebut Kampung Ulu) didirikan pada sekitar tahun 1789-1792 oleh Abang Kumbang untuk kaum keluarganya. Kampung Ulu dibangun pada bidang endapan tanah pasir sempit dan datar yang terletak diantara Sungai Mentuk dengan dinding batu pada tanah tinggi di sebelahnya. Wilayah Kampung Ulu berada pada batas utara dari Perkampungan Cina di sebelah timur Sungai Mentuk, wilayah tersebut juga merupakan akses dari pelabuhan dan pasar, serta wilayah lain yang berbatasan langsung.

Menurut pandangan orang-orang Melayu yang terbiasa menginjak tanah berpasir, bidang tanah sempit di Kampung Ulu tersebut cocok untuk dijadikan pemukiman. Pendirian pemukiman di Kampung Ulu diperkirakan dalam waktu yang tidak terlalu jauh dari pendirian Benteng Kute Seribu yang dibangun sekitar tahun 1758-1787 di masa pemerintahan Abang Pahang Temenggung Dita Menggala pada masa Pulau Bangka di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darusallam (Ahmad Najammudin). Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan jenis batu merah pipih yang digunakan sebagai talud sungai. Tipe batuan dan susunannya sama dengan tipe yang ada pada dinding talud makam pendiri Negeri Mentuk di Benteng Kute Seribu. Penggunaan material jenis tersebut di Negeri Mentuk merupakan jenis material yang tipikal pada jamannya.

Orang-orang Melayu telah berada di wilayah Kampung Ulu untuk berhuni sejak sebelum East India Company (EIC), atau Perusahaan Dagang Hindia Inggris tiba di Mentok pada tahun 1812. Pendirian pemukiman di Kampung Ulu awalnya dikarenakan Abang Ismail Temenggung Kerta Menggala, penguasa ke-4 Negeri Mentuk dan Pulau Bangka yang tidak memedulikan pemerintahan Negeri Mentuk, sehingga mengakibatkan perpecahan di kaum keluarga para pendiri Negeri Mentuk. Kemudian, perpecahan ini menyebabkan pemerintahan Negeri Mentuk menjadi tiga kepala, yaitu Temenggung Kerta Menggala di Kampung Jiran Peranakan Siantan, Abang Tawi di Kampung Patemun dan Abang Kumbang di Kampung Pemuhun.

Berdasarkan peta tahun 1820, diketahui bahwa terdapat delapan rumah dalam pemukiman di Kampung Ulu, dimana empat rumah didirikan di atas tebing, dan empat rumah lainnya didirikan di atas tanah pasir. Jambu air hijau, sawo, manggis, gayam yang merupakan spesies umum yang biasa ditemukan di wilayah pemukiman orang-orang Melayu merupakan jenis tanaman yang dapat ditemukan di Kampung Ulu. Selain itu, spesies tanaman seperti manga serta jambu biji juga tumbuh baik di Kampung Ulu.

Sketsa peta Kampung Ulu (Oleh Universitas Indonesia dan Verna Doc Indonesia, Tahun 2018)

Penamaan Kampung Ulu diperkirakan berasal dari posisinya yang berada di bagian ujung, dan di hulu sungai, yaitu pada batas terjauh dari pasang sungai yang dapat dilayari perahu kecil. Pada jaman dahulu, rumah-rumah di Kampung Pemuhun merupakan tempat menenun kain-kain cual dengan menggunakan benang emas yang ditenun oleh kaum perempuan. Kain cual tersebut khusus dipakai untuk para Abang-Yang kaum bangsawan Mentuk dan kaum kerabat Sultan Palembang. Kegiatan menenun kain cual merupakan kegiatan harian di Kampung Pemuhun yang kemudian terhenti disebabkan ketiadaan bahan baku benang emas akibat pecahnya Perang Dunia I (1914-1918).

Tampak susunan batu pipih yang membentuk talud di pinggir sungai. Foto tahun 1930 (KITLV 36485)

Pada masa awal berdirinya Kampung Ulu, pemukiman ini memiliki suasana tenang, tertutup. Suasana tersebut didukung dengan adanya sungai jernih dilayari sampan dan jukung kecil oleh para penghuni Kampung Ulu. Sungai Mentuk adalah sungai yang cukup lebar yang berada di Kampung Ulu, dimana bagian terjauh air pasang di sungai Mentuk dinamakan sebagai Sungai Arang Arang. Sepanjang Kampung Ulu, mulai dari Sungai Arang Arang hingga di depan Masjid Jamik Mentok, pada sisi sungai terdapat talud lama yang terbuat dari susunan pelat batu merah yang pipih.

Gambar badan Sungai Mentuk, Tahun 1910 (KITLV 106127)

Gambar ujung sungai yang menuju muara, Tahun 1910 (KITLV 106128)

Sungai tersebut merupakan tempat bongkar muat perahu-perahu dagang yang digunakan untuk menjual barang kebutuhan sehari-hari seperti beras, kain dan barang dagangan lainnya. Sungai dengan air jernih ini juga merupakan habitat yang baik bagi udang galah, yang pada saat itu udang galah merupakan spesies endemik di setiap muara sungai di sekitar Mentuk. Namun, pada tahun 2006, talud baru dari batu granit dan semen didirikan di atas talud lama, yang menyebabkan air sungai menjadi tidak jernih. Pendirian talud baru tersebut bertujuan untuk menahan banjir tahunan karena sedimentasi sungai, mencegah pengikisan pinggir sungai, serta mencegah banjir periodik 7-8 tahunan dan estetika lanskap pemukiman kaum elit Mentok di pinggir sungai.

Sketsa rumah di Kampung Ulu (Oleh Universitas Indonesia dan Verna Doc Indonesia, Tahun 2018).

Gambar rumah-rumah lama di Kampung Ulu yang tersisa saat ini.

Kampung Ulu berada di wilayah sempit pada bagian pedalaman hulu Sungai Mentuk dan merupakan perkampungan orang Melayu, sehingga didalamnya dapat ditemui rumah-rumah kayu khas Melayu yang terbuat dari papan. Jenis rumah Melayu yang terdapat di Kampung Ulu adalah tipe Melayu Johor, tipe Ume Bangka. Pada jamannya, terdapat dua orang berpengaruh di Kota Mentuk yang merupakan pemilik rumah panggung Melayu ini, diantaranya adalah rumah bergaya arsitektur Melayu Semenanjung milih H.Ya’kub dan rumah bergaya arsitektur Palembang milik H. Nuh. Kedua orang tersebut juga merupakan pedagang kaya dan bersama dengan Abang Muhammad Ali Temenggung Kartanegara II mendirikan Masjid Jamik Mentok di tahun 1882. H.Nuh juga membangun sebuah surau di sebelah rumahnya. Surau ini dibangun untuk kepentingan sholat fardhu berjamaah dikarenakan beliau tidak sanggup menyeberangi Sungai Mentuk untuk sholat ke Masjid Jamik Mentok. Pada masa pengasingan pemimpin RI di Mentok periode tahun 1948-1949, Presiden Soekarno, H. Agus Salim, Mr. Moehamad Roem beserta tokoh lainnya melaksanakan sholat Jum’at di surat tersebut di tahun 1949.*

Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Bangka Barat. Kampung Ulu Pemukiman Melayu Mentok (Kampong Ulu Mentok Malay Settlement). https://online.fliphtml5.com/ionrk/tjjr/#p=4

 

 

 

Share