Bertepatan dengan Hari Bumi, 22 April, dan Hari Warisan Dunia, 18 April, banyak komunitas, penggerak dan aktivis yang tak ingin kehilangan momen untuk menyuarakan misi mereka lewat berbagai karya, seminar, aksi nyata, diskusi dan beragam program lainnya. Di antara komunitas yang peduli itu adalah KALBU (Komunitas Lanskap Budaya) dan JALIN (Jakarta Landscape Institute). KALBU adalah komunitas lanskap budaya yang peduli akan keberlanjutan keanekaragaman lanskap budaya Indonesia, yang memiliki nilai-nilai sejarah dan budaya yang di dalamnya terdapat interaksi yang kuat antara manusia sebagai pelaku budaya dan bumi atau lingkungan sebagai tempat hidup atau habitatnya. Sementara JALIN adalah kumpulan para ahli arsitek lanskap yang peduli akan kualitas lingkungan perkotaan baik dari segi estetika maupun fungsi ekologinya sebagai tempat atau habitat manusia dan mahluk hidup lainnya.
Berangkat dari kepedulian akan bumi sebagai warisan dan kualitasnya sebagai habitat yang liveable dan sustainable , kedua komunitas ini mengadakan acara diskusi bersama di sebuah tempat yang asri, yang mencerminkan lingkungan yang tertata apik dan mengandung nilai penting (significant value) karena dikenal sebagai habitat untuk plasma nutfah terbanyak di seluruh dunia untuk sebuah kawasan buatan manusia (man-made environment), yaitu Taman Buah Mekarsari. Kehadiran Taman Buah ini tidak hanya menjadi oase di tengah hiruk pikuk perkembangan permukiman dan industri di sekitarnya yang terus mendesak proporsi lahan hijau , tapi sekaligus sebagai etalase kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki nusantara.
Tiga pembicara dihadirkan dalam diskusi terbatas ini dengan membawa tema seputar lanskap budaya, keanekaragaman hayati dan keberlangsungan ekosistem daerah tropis, serta peran serta masyarakat dalam implementasi pengelolaan sumber daya alam dan budaya. Ketiga pembicara yang mendalami bidangnya masing-masing, berusaha mengajak peserta diskusi untuk membuka wawasan yang mungkin baru bagi mereka tapi menjadi permasalahan bersama yang nyata di depan mata.
Pengenalan tentang apa itu lanskap budaya dirasa sebagai sesuatu yang baru, namun sebenarnya tidak, karena peserta diskusi tanpa terasa sedang duduk di atas sebuah lanskap budaya, yaitu Taman Buah Mekarsari, sebuah tatanan lanskap yang telah tersentuh budaya manusia, khususnya bidang pertanian dan hortikultur. Contoh lain adalah sawah berundak-undak (pertanian subak ,Bali). Ada filosofi hidup masyarakat Bali yang melatarbelakangi sistem pertanian ini dan menjadi produk budaya masyarakat setempat yang tercermin dalam lanskap budaya pertanian yang terbukti sangat berkelanjutan. Kampung Naga di Kabupaten Tasikmala juga termasuk lanskap budaya yang masih lestari dan menjadi ajang belajar dan meneliti bagi pemerhati sejarah, budaya dan pusaka. Hubungan yang erat antara masyarakat kampung Naga dengan alam sekitarnya lewat aturan adat dan kearifan lokal yang dimiliki, menjadikan kampung ini tetap terjaga kelestarian lingkungannya. Keberadaan lanskap budaya sangat penting dipelihara karena di situlah banyak terkandung nilai kearifan lokal sebagai jati diri bangsa dan informasi sejarah dan budaya yang ternyata sangat kaya akan ilmu tentang hubungan yang harmoni antara manusia dan alam, dan sangat krusial untuk terus dijaga demi keberlanjutan kehidupan di bumi.
Diskusi tentang keanekaragaman hayati tak kalah menariknya karena mengungkapkan fenomena bahwa keanekaragaman hayati di Indonesia sangat kaya dan menempati urutan ke empat di dunia setelah Brasil, Kongo, dan Meksiko. Doktor di bidang Tropical plant asli Hawai ini mengatakan bahwa spesies burung yang ada di seluruh Hawai hanya ada 4 macam sedangkan hanya di Taman Buah Mekarsari sendiri saja, bisa memiliki sekitar 60 jenis burung. Sebuah perbandingan yang cukup mencengangkan. Demikian juga jenis kupu-kupu, dan vegetasi lainnya. Taman Buah Mekarsari memiliki jumlah jenis salak yang paling banyak di seluruh dunia dengan sekitar 7 species salak dan puluhan varietas yang unik dan langka.
Pembicara terakhir memberi pandangan baru tentang bagaimana mengelola sumber daya alam dan budaya agar terus berkelanjutan hingga generasi mendatang dengan pendekatan “The commons”. Istilah baru yang mungkin masih sangat awam bagi peserta diskusi ini cukup menarik perhatian. The commons adalah sumber daya yang dimanfaatkan dan dikelola bersama oleh sekelompok masyarakat. Berawal dari “tragedy the commons” yang menggambarkan rusaknya sumberdaya karena tidak dikelola dengan baik dan mendorong keserakahan individual untuk menguasai secara pribadi dan akhirnya ditemukan jalan keluar pengelolaan sumber daya dengan privatisasi dan state-control. Alih-alih pengelolaan secara konvensional ini, pembicara menyampaikan alternatif pengelolaan “jalan ketiga” yaitu dengan kelembagaan lokal sebagai pengelola sumber daya. Hal ini telah terbukti bahwa banyak contoh dari sumber daya yang dikelola secara komunal, dan tidak berujung pada kerusakan tapi justru tetap berkelanjutan, salah satunya adalah hutan adat.
Kesimpulan dari diskusi yang diwarnai tanya jawab yang sangat intens dari para peserta, adalah bahwa bumi hendaknya dipandang sebagai warisan penting yang harus terus dijaga keberadaannya, terus dikelola dengan baik sumber-sumber daya yang dimiliki, terus dilestarikan jejak peninggalan nenek moyang lewat situs bersejarahnya, sehingga fungsi-fungsi kehidupan baik fungsi sosial, budaya maupun ekologis, dapat terus berlanjut hingga generasi yang akan datang. Bumi adalah titipan, seyogyanyalah kita menerima amanah ini dengan bijak dan penuh tanggung jawab.
Penulis: Yuni Prihayati,SP,MSi. .Ketua KALBU